OPINI

Minyak Goreng Ditimbun, Salah Siapa?

×

Minyak Goreng Ditimbun, Salah Siapa?

Sebarkan artikel ini

Oleh: Sinta Nur Safitri Ramli (Mahasiswa USN Kolaka)

Antrian ibu-ibu untuk mendapatkan minyak goreng yang langka masih terus mengular di berbagai tempat. Pemandangan yang memilukan dan memalukan di negeri produsen sawit terbesar di dunia.

Dilansir dari Bisnis.com, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mendalami indikasi kartel dalam dugaan penimbunan minyak goreng di Deli Serdang, Sumatera Utara.

“Dugaan penimbunan minyak goreng merupakan ranah hukum pihak kepolisian. Tapi KPPU menjadikan kasus itu sebagai salah satu bahan untuk mendalami adanya kemungkinan kartel di perdagangan komoditas itu,” ujar Kepala KPPU Wilayah I Ridho Pamungkas di Medan, dikutip dari tempo.co, Minggu (20/2/2022).

Ombudsman RI (ORI) menyebutkan ada tiga faktor yang menyebabkan minyak goreng langka dan mahal di pasaran, yaitu pengalihan penjualan minyak goreng dari ritel modern ke pasar tradisional agar harganya lebih mahal, penimbunan serta panic buying terhadap masyarakat.

Dugaan penimbunan minyak goreng ini terjadi secara merata. Satgas Pangan Polri telah mengungkapkan dugaan penimbunan minyak goreng oleh pelaku usaha terjadi di berbagai wilayah.

Baca Juga :  2 Minggu Lagi, Beli Migor Curah Wajib Pakai NIK dan PeduliLindungi

Maraknya penimbunan oleh pelaku usaha, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengungkapkan adanya praktik kartel minyak goreng. Perusahaan yang bermaksud mempengaruhi harga minyak goreng dengan menahan pasokan ke pasar-pasar. Perusahaan yang sengaja memanfaatkan kenaikan harga CPO untuk mengerek harga minyak goreng demi meraup cuan yang berlipat-lipat.

Data menunjukkan bahwa pada kuartal III tahun 2021, tiga perusahaan ialah PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP), PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF), dan PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk (SMAR) mencatat penurunan persentase beban pokok terhadap penjualan dan meraih loncatan laba bersih hingga berkali-kali lipat (detik.com, 15/2/2022).

Persoalan harga minyak goreng saat ini menunjukkan adanya persoalan pada tata kelola komoditas oleh pemerintah. Melalui Kemendag, pemerintah mengakui bahwa ada kesalahan kebijakan yang menyebabkan harga minyak goreng kian melonjak.

KPPU mencatat, berdasarkan data Concentration Ratio (CR), 40 persen pangsa pasar minyak goreng di Indonesia dikuasai oleh empat konglomerat. Mereka adalah Anthony Salim, Sukanto Tanoto, Martua Sitorus, dan Bachtiar Karim. (tempo.co, 28/1/2022).

Baca Juga :  Dijual Rp14 Ribu, Pasar Murah Minyak Goreng Bulog Sultra Ludes Diserbu Masyarakat

Menilik Akar Masalah

Akibat penguasaan minyak goreng, pengusaha seenaknya mengatur harga minyak goreng. Inilah fakta hubungan penguasa dan pengusaha dalam sistem kapitalis, dimana korporasi sangat mampu mengatur kebijakan negara, sementara penguasa tidak bisa berbuat apa-apa. Negara dikuasai oleh korporasi.

Melihat tata kelola minyak goreng ini berpangkal pada sistem ekonomi kapitalis yang diterapkan. Korporasi dengan seenaknya menentukan kebijakan negara demi keuntungan dirinya. Menguasai ekonomi melalui praktik monopoli dan oligopoli. Sementara penguasa terbeli oleh korporasi, karena para korporasi yang menyuplai dana untuk meraih tampuk-tampuk kekuasaan.

Miris korporasi kapitalisme saat ini mengaku sudah menyubsidi minyak goreng agar dapat menekan harganya, tetapi di sisi lain ternyata CPO sedang digunakan untuk kebutuhan produksi yang tidak lain adalah mega proyek energi hijau. Ini tentu mengganggu stok CPO sebagai bahan dasar minyak goreng, sehingga berpeluang membuat stok minyak goreng menjadi langka. Kantong rakyat tetap menjadi bulan-bulanan kapitalisme, padahal kita melihat bagi rakyat kecil minyak goreng adalah salah satu kebutuhan pokok. Jelas sudah penimbunan minyak goreng ini bukan salah rakyat jelata.

Baca Juga :  Dijual Rp14 Ribu, Pasar Murah Minyak Goreng Bulog Sultra Ludes Diserbu Masyarakat

Mekanisme Islam Hadirkan Solusi

Islam tidak hanya sebagai agama yang mengatur perkara ibadah, melainkan menghadirkan solusi atas segala problematika kehidupan. Praktik penimbunan pernah terjadi di masa Khilafah, sebagaimana pada masa Rasulullah juga terjadi penimbunan. Namun, Khilafah merupakan negara yang independen, tidak didikte pihak mana pun, termasuk para korporasi dan mafia pangan sehingga mampu bertindak efektif menyelesaikan persoalan.

Khilafah mengatur ekonomi sesuai dengan syariat Islam, sedangkan penimbunan merupakan praktik terlarang dalam Islam. Nabi saw. bersabda,

“Tidaklah melakukan penimbunan kecuali orang yang berbuat kesalahan.” (HR Muslim)

Seharusnya, negara memiliki aturan komprehensif sehingga rantai distribusi ini bisa terwujud, serta berupaya keras agar terjadinya stabilitas harga. Berbagai macam soal penimbunan yang terjadi harus cepat diantisipasi. Islam memiliki mekanisme pencegahannya. Maka, semuanya hanya dapat terwujud dalam penerapan sistem Islam bukan sistem kapitalis yang nyata-nyata menyengsarakan rakyat. Wallahu’alam.

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x