Oleh : Siti Komariah (Pemerhati Masalah Umat)
Bulan suci Ramadan masih terbilang jauh. Namun rombangan pengemis sudah mulai banyak terlihat di tengah Kota Baubau. Ironisnya, para pengemis yang kerap beraksi di setiap simpang traffic Light (lampu merah) kota itu, kebanyakan masih anak-anak bahkan terbilang bocah.
Seperti dua pengemis yang kerap nongkrong di simpang empat lampu merah, jalan Betoambari, lorong PK. Setiap hari, kedkua anak itu terlihat duduk di taman jalan menunggu para dermawan yang berbelas kasih kepada mereka (telisik.id, 24/12/2021).
Fenomena pengemis ini bukan hanya kali ini saja terjadi, namun sudah berulang-ulang apalagi jika sudah memasuki bulan Ramadhan. Jika kita melihat fakta yang ada, penyelesaian persoalan pengemis bukan hanya dengan memberikan bimbingan dan pengarahan kepada masyarakat yang selama ini dilakukan oleh penguasa, namun butuh penyelesaian sistemik.
Disadari ataupun tidak fenomena tersebut merupakan imbas dari kemiskinan yang tak kunjung teratasi. Menurut, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan angka kemiskinan yang ada di Indonesia pada Maret 2021. Hasilnya, terdapat 27,54 juta penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan hingga kuartal I 2021.
Fenomena kemiskinan di Indonesia ini tentu berdampak pada meningkatnya jumlah penduduk yang mempunyai tingkat kesejahteraan sosial rendah di masyarakat. Ditambah dengan adanya pandemi yang membuat para ritel gulung tikar dan menyebabkan banyaknya pengangguran membuat mengemis menjadi salah satu alternatif bagi sebagian orang yang tidak memiliki keterampilan dan juga tidak ditemukannya usaha untuk mencari pekerjaan. Sehingga, mengemis ini bukanlah hanya menjadi fenomena sosial saja, melainkan bagi sebagian orang, kegiatan ini sudah menjadi mata pencahariannya.
Berbagai upaya seyogianya sudah dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah kemiskinan ini, tetapi hal tersebut belum menunjukkan hasil untuk menanggulangi kemiskinan yang terjadi.
Ya, berharap pada sistem kapitalis sekuler dalam menyelesaikan masalah kemiskinan dan menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya, nampaknya seakan hal yang mustahil, yang ada justru kebijakan yang diambil selalunya menjadi kado pahit bagi rakyatnya. Hal tersebut nyata terlihat dalam fenomena di atas. Bagaimana dalam sistem ini rakyat harus bersusah payah untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sendiri, tanpa adanya peran negara di dalamnya.
Sistem kapitalis sekuler telah berhasil meniadakan peran negara dalam menjamin kebutuhan hidup rakyatnya. Negara hanya menjadi regulator semata, yaitu menciptakan sebuah aturan dan menjaga kebebasan rakyatnya, tanpa bertangungjawab dalam setiap pengurusan urusan rakyat dan pengurusan kebutuhan mereka, baik kebutuhan primer (sandang, pangan dan papan) maupun kebutuhan pokoknya (pendidikan, kesehatan, dan lainnya).
Padahal, negara (penguasa) memiliki kewajiban bertangungjawab dalam meriayah urusan rakyatnya. Hal tersebut tergambar dalam hadist Rasulullah “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).
Islam memandang mengemis merupakan perbuatan tercela dan dilarang oleh agama, apalagi mereka yang melakukan perbuatan tersebut memiliki fisik yang kuat dan kekar. Sebab, perbuatan tersebut menjadikan umat manusia kufur akan nikmat Allah swt dan menghilangkan marwahnya sebagai seorang muslim.
Islam memiliki solusi dalam mengentaskan masalah pengemis atau kemiskinan. Dimana Islam menjalankan mekanisme kontrol sosial dengan menanamkan keimanan dan rasa kasih sayang kepada setiap insan manusia. Dengan berjalannya kontrol sosial di tengah-tengah masyarakat, maka setiap anggota masyarakat akan tergerak oleh keimanannya untuk menengok tetangganya dan memastikan terpenuhi tidaknya kebutuhannya. Bila ia mendapati tetangganya kekurangan, sedang ia kaya, maka Islam mendorongnya bershadaqah.
Nabi SAW bersabda, “Tidak beriman kepadaku, siapa saja yang tidur (sambil perutnya kenyang) di malam hari, sedangkan tetangganya kelaparan dan ia mengetahuinya.” HR. al-Bazzar melalui jalur Anas.
Selain sosial control, Islam juga mewajibkan Negara melalui aparaturnya untuk melakukan fungsi ri’ayah (mengurusi) rakyat. Para penguasa menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyatnya, menjamin kebutuhan dasar mereka sesuai tuntutan syara, menjamin bahan pokok yang terjangkau, serta mengelola harta milik umat, seperti sumber daya alam yang mana hasilnya untuk membiayai segala kebutuhan rakyatnya.
Kita bisa melihat sosok Umar ibnu al-Khattab ra sebagai buktinya. Beliau bahkan menetapkan kebijakan menafkahi seorang laki-laki tua Yahudi dengan harta yang diambil dari baitul mal khilafah, ketika beliau tahu bahwa Yahudi tua tersebut meminta-minta. Sosial control, baitul mal dan ri’ayah inilah yang senantiasa ada sepanjang Islam diterapkan, sejak masa Rasul SAW hingga masa khilafah Utsmaniyah, sepanjang 1300 tahun lamanya. Dan keberadaannya sepanjang waktu tersebut telah terbukti mampu mensejahterakan rakyatnya dan memenuhi kebutuhan hidup mereka. Wallahu A’alam Bissawab.